Gambar ilustrasi oleh AI |
Jakarta, AlifMH.info — Di tengah kemajuan pembangunan dan semangat menuju Indonesia Emas 2045, persoalan mendasar seperti akses terhadap air minum yang layak justru masih menyisakan ketimpangan yang mendalam. Fatrian Rubiansyah Rusydy, S.T., MBA, PMP – Co-Founder Nusawater dan Water Collaborator – menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi ini, mengingatkan bahwa air adalah hak dasar manusia yang belum merata dinikmati seluruh masyarakat Indonesia.
“Tahukah Anda bahwa masyarakat kita membayar hingga 1.000 kali lebih mahal untuk air kemasan dibandingkan air dari PDAM?” ujar Fatrian. Harga air minum dalam kemasan di Indonesia berkisar antara Rp 1.500 hingga Rp 4.000 per liter, sementara tarif air PDAM hanya Rp 2.000–4.000 per meter kubik, atau setara dengan 1.000 liter. Ironisnya, kualitas dan cakupan layanan PDAM masih belum optimal, disebabkan oleh infrastruktur yang usang dan pendanaan yang terbatas.
Menurut data UNICEF tahun 2022, 70% dari 20 sumber air utama di Indonesia terkontaminasi E. coli, menyebabkan banyak masyarakat memilih air kemasan—jika mereka mampu membelinya. Sementara itu, lebih dari 16 juta penduduk Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih yang layak, menjadikan persoalan ini sebagai isu keadilan sosial yang mendesak untuk diselesaikan.
Fatrian juga menyoroti bahwa dana yang setiap hari dikeluarkan masyarakat untuk membeli air kemasan sesungguhnya bisa diarahkan untuk memperbaiki dan memperluas jaringan layanan publik seperti PDAM. “Bayangkan jika dana yang kita habiskan untuk membeli air kemasan, kita investasikan untuk membangun dan mereformasi infrastruktur air publik. Dampaknya bisa sangat besar, menciptakan keadilan akses dan keberlanjutan,” tegasnya.
Masalah ini tidak hanya terkait dengan kesehatan, tetapi juga menyentuh isu lingkungan dan keberlanjutan. Ketergantungan pada air kemasan turut memperbesar timbulan sampah plastik dan meningkatkan jejak karbon. Oleh karena itu, Fatrian mengajak seluruh pihak—pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat umum—untuk mulai memikirkan kembali sistem pengelolaan air secara berkeadilan dan berkelanjutan.
“Air bukan sekadar komoditas, melainkan kebutuhan dasar dan simbol kedaulatan. Sudah waktunya kita peduli dan mulai berinvestasi pada sistem publik seperti halnya kita menghargai kenyamanan sehari-hari,” tutup Fatrian.
[ ا MH ]